Alasan social loafing lebih berkaitan dengan kejelasan alih-alih produktivitas

Headshot kontributor Julia MartinsJulia Martins
26 Januari 2024
4 menit baca
facebookx-twitterlinkedin
Cek Templat

Ringkasan

Social loafing (kemalasan sosial) adalah suatu situasi ketika beberapa orang yang dinilai sebagai bagian dari kelompok dianggap memberikan upaya yang lebih sedikit. Tapi, sebenarnya, tidak ada yang ingin bekerja dengan buruk. Dalam artikel ini, kami akan membahas bagaimana persepsi social loafing ini sebenarnya adalah tanda masalah lain, yakni kurangnya kejelasan. Lanjutkan membaca untuk mempelajari cara meningkatkan kejelasan di tempat kerja dan memberdayakan anggota tim untuk menyelesaikan pekerjaan terbaik mereka.

Kita semua ingat proyek kelompok menyebalkan saat sekolah. Siapa pun anggota kelompoknya atau apa pun proyeknya, rasanya seperti ada orang yang bekerja lebih sedikit dari anggota lainnya. Tapi, pada akhir proyek, semua orang mendapatkan nilai yang sama untuk kerja kelompok tersebut tanpa ada konsekuensi negatif. 

Rasanya mengecewakan apabila sepertinya seorang anggota tim mengerjakan lebih sedikit pekerjaan dibanding Anda tapi tetap menerima nilai atau apresiasi yang sama. Fenomena ini disebut "'social loafing", yakni anggapan bahwa beberapa orang memberi lebih sedikit upaya dalam kelompok. Menurut psikologi sosial, social loafing terjadi saat ada perpaduan tanggung jawab dan pergeseran fokus dari kinerja individu ke kinerja grup.

Social loafing selama proyek kelompok di sekolah itu nyata. Tapi, pertanyaannya: apakah social loafing benar-benar terjadi di tempat kerja? Dan, jika ya, bagaimana Anda dapat memberdayakan anggota tim untuk menyelesaikan pekerjaan terbaiknya sekalipun bekerja dalam kelompok? 

Apa itu social loafing?

Social loafing adalah fenomena persepsi psikologis bahwa anggota tim bekerja lebih sedikit dalam kelompok. Efek social loafing menyatakan bahwa individu yang merupakan bagian dari kelompok dianggap tidak bekerja sekeras anggota lainnya. 

Dari mana asal social loafing? 

Max Ringelmann pertama kali mendeskripsikan fenomena social loafing pada 1913. Ringelmann yang berprofesi sebagai insinyur pertanian berkebangsaan Prancis ini menemukan social loafing dengan meminta sejumlah orang menarik sebuah tali. Dia menilai bahwa sejumlah individu memberikan lebih banyak upaya saat mereka menariknya secara individu dibanding saat dalam kelompok. Efek Ringelmann ini kemudian berganti nama menjadi social loafing.

Social loafing telah dipelajari secara mendalam. Dalam artikel Many Hands Make Light the Work: The Causes and Consequences of Social Loafing, Bibb Latané, Kipling Williams, dan Stephen Harkins mengukur volume suara individu yang dihasilkan saat bertepuk tangan dan berteriak ketika sendirian maupun dalam kelompok. Penelitian mereka menemukan bahwa semakin besar kelompok, semakin sedikit upaya yang diberikan setiap individu. Mereka meyakini bahwa ini karena kelompok yang lebih besar berarti lebih sedikit upaya yang diberikan setiap individu. Setelahnya, pada 1993, Steven Karau dan Kipling Williams menyatakan bahwa social loafing tersebut disebabkan oleh individu yang merasa tidak begitu tertarik dengan hadiah atau apresiasi yang akan mereka terima di akhir proyek. 

Mitos social loafing 

Faktanya, bermain tarik tambang atau berteriak dalam grup malah dapat mengurangi upaya individu. Tetapi, studi-studi ini tidak langsung merujuk ke tempat kerja modern, dan membandingkan latihan sederhana dengan lingkungan kerja yang selalu aktif tidak sepenuhnya mewakili hal yang sebenarnya dialami pekerja pengetahuan modern.

Kerja tim dan kerja kelompok bukan penyebab berkurangnya kontribusi individu. Penyebab sebenarnya? Kurangnya kejelasan. Saat pekerja pengetahuan tidak memiliki kejelasan tentang hal yang mereka kerjakan atau cara pekerjaan tersebut berdampak pada perusahaan, mereka tidak dapat memprioritaskan atau mengeksekusi pekerjaan berdampak tinggi secara efektif. Inilah kontributor terbesar kelelahan bekerja yang menurut laporan telah dialami 71% pekerja pengetahuan global setidaknya satu kali pada 2020. Lalu, satu dari tiga pekerja pengetahuan tersebut melaporkan merasa kelelahan bekerja dan melembur karena kurangnya kejelasan tentang tugas dan peran. 

Jadi, jika anggota tim terkesan memiliki kinerja atau partisipasi di bawah standar, mereka bukan social loafer. Sebaliknya, mereka mungkin sebenarnya sedang kesulitan. Mengetahui hal yang memengaruhi produktivitas atau motivasi mereka dapat membantu mereka menyelesaikan pekerjaan yang lebih baik. Pada akhirnya, ini juga akan membantu memastikan setiap individu merasa lebih nyaman dan didukung di tempat kerja. 

4 langkah memberikan kejelasan di tempat kerja 

Faktanya, tidak ada yang ingin bekerja dengan buruk. Hal yang dianggap sebagai social loafing sebenarnya adalah tanda kurangnya kejelasan atau motivasi. Untuk membantu anggota tim meraih keberhasilan dan menyelesaikan pekerjaan terbaik mereka, inilah empat cara memberikan kejelasan dan konteks selengkapnya di tempat kerja.

1. Identifikasi siapa melakukan apa hingga kapan

Hal pertama yang dapat dilakukan untuk memberikan kejelasan dan keselarasan pada tim adalah mengidentifikasi siapa melakukan apa hingga kapan pada setiap proyek atau tugas. Telusuri tugas dan proyek untuk tim, adakah sesuatu yang memiliki lebih dari satu pemilik? Tanpa pemilik tunggal yang jelas untuk setiap bagian pekerjaan, anggota tim mungkin bingung tentang siapa yang bertanggung jawab untuk pekerjaan tersebut. 

Kurangnya kejelasan ini dapat berarti pekerjaan tertunda atau tidak selesai. Menurut Indeks Anatomi Kerja, 27% tenggat yang luput disebabkan oleh proses yang tidak jelas. Faktanya, di Asana, kami sepenuhnya yakin bahwa setiap tugas seharusnya hanya diberikan kepada satu orang, dan hal ini telah kami bangun dalam produk kami.

Contoh, bayangkan Anda termasuk dalam tim konten, dan Anda serta seorang rekan kerja membuat e-book bersama. Tanpa pemahaman yang jelas tentang siapa pemilik apa, kalian mungkin akhirnya mengalami penundaan dan gagal memberi tahu desainer bahwa transkrip siap dipublikasikan hanya karena kalian secara teknis bukan pemilik pekerjaan tersebut. Sebagai alternatif, kalian mungkin mencoba berkomunikasi dengan desainer tentang pekerjaan itu, dan ini dapat menyebabkan kebingungan serta kurangnya kejelasan. 

Kurangnya kejelasan tentang peran, kepemilikan, dan hasil akhir memicu timbulnya pekerjaan duplikat. Tim menghabiskan 13% waktu mereka untuk pekerjaan yang sudah diselesaikan. Ini menambah hingga 236 jam per tahun yang hilang karena upaya duplikat. Proses dan kepemilikan yang jelas dapat membantu Anda menghindari ini, dan sebaliknya, menghabiskan lebih banyak waktu untuk proyek berdampak tinggi yang unik.

2. Koordinasikan pekerjaan di satu tempat terpusat

Anda tidak hanya membutuhkan kejelasan tentang siapa melakukan apa dan hingga kapan, tapi juga cara untuk melacak semua informasi tersebut. Jika setiap anggota tim mengelola pekerjaan mereka di alat berbeda, hampir tidak mungkin mendapatkan kejelasan tentang hal yang dikerjakan semua orang.

Sebaliknya, pastikan tim mengoordinasikan pekerjaan di satu alat terpusat. Tentu saja kami merekomendasikan penggunaan alat manajemen kerja seperti Asana untuk melakukan hal ini. Manajemen kerja adalah cara melacak proses, proyek, dan tugas yang sedang berlangsung untuk memberikan kejelasan pada tim. Menurut penelitian kami, hampir 70% pekerja pengetahuan merasa akan lebih siap mencapai target personal jika memiliki proses pengelolaan pekerjaan yang jelas. Dengan mengoordinasikan pekerjaan lintas fungsi dan melacak progres secara real-time, Anda dapat membuat proses ini jelas bagi tim.

Baca: Pengantar manajemen kerja

3. Kurangi kerja tentang kerja 

Pekerjaan manual yang dikerjakan dua kali dapat menyebabkan stres dan kelelahan bekerja. Tapi, begitu banyak hari yang kita habiskan untuk tugas ini. Pekerja pengetahuan rata-rata menghabiskan 60% waktu mereka untuk kerja tentang kerja, seperti meminta persetujuan, mencari dokumen, atau menghadiri rapat status. 

Jika Anda mengurangi kerja tentang kerja, Anda dapat membuat tim lebih mudah memprioritaskan pekerjaan berdampak tinggi, terampil, dan strategis. Beberapa strategi untuk mengurangi kerja tentang kerja termasuk:

  • Menghentkan rapat status. Sebaliknya, pertimbangkan untuk membagikan pembaruan status proyek di alat manajemen kerja.

  • Mengotomatiskan pekerjaan manual dan tugas rutin agar tim memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada pekerjaan yang berdampak.

  • Mengintegrasikan alat bisnis favorit Anda untuk menghindari terlalu banyak aplikasi. 

4. Hubungkan pekerjaan harian dengan tujuan perusahaan

Tanpa pemahaman yang jelas tentang bagaimana pekerjaan Anda terhubung ke dan berkontribusi pada tujuan perusahaan, Anda akan sulit membuat prioritas dan merasa seperti hanya menyia-nyiakan waktu sekalipun mengusahakan yang terbaik. Tetapi, jenis kejelasan ini sulit dicapai Faktanya, hanya 26% pekerja pengetahuan yang memiliki pemahaman yang jelas tentang keterkaitan pekerjaan mereka dengan gol perusahaan.

Untuk menjembatani celah antara tugas harian dan prioritas organisasi, pastikan anggota tim memahami bagaimana pekerjaan mereka mendukung tujuan perusahaan. Ini bukan hanya baik untuk motivasi, tetapi juga dapat membantu anggota tim memprioritaskan kembali pekerjaan atau menggeser batas waktu jika diperlukan. Saat memahami tugas yang penting untuk bisnis, anggota tim dapat dengan efektif mengendalikan jadwal ketat dan pergeseran prioritas.

Menghubungkan pekerjaan sehari-hari dengan tujuan perusahaan juga dapat membantu seluruh tim bergerak ke arah yang sama. Alih-alih prioritas yang kacau atau tidak jelas, semua orang akan dapat mengetahui dengan jelas kontribusi setiap anggota tim. Dengan begitu, semua anggota kelompok yakin bahwa pekerjaan yang mereka prioritaskan selaras dengan pekerjaan rekan kerja mereka juga. 

Masalahnya bukan social loafing, tapi kejelasan 

Untuk membantu tim menyelesaikan pekerjaan terbaik mereka, fokuslah meningkatkan kejelasan, bukan mengurangi social loafing. Dukung anggota tim dengan memberikan kejelasan terkait proses, menyelaraskan prioritas-prioritas yang sama, dan memusatkan pekerjaan di satu tempat. Dengan begitu, Anda dapat memastikan tim memiliki semua yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan dan bersama-sama bergerak ke arah yang sama.

Sumber daya terkait

Artikel

Data-driven decision making: A step-by-step guide